Senin, 14 Juli 2008

MENCERMATI PERGESERAN KARAKTER BAHASA MEDIA

(Studi Terhadap Koran Kompas)

Pendahuluan
Setiap media massa mempunyai ekspresi bahasa yang berbeda dalam menyampaikan pesannya kepada pembaca. Perbedaan ekspresi atau karakteristik bahasa ini amat ditentukan oleh beberapa hal; antara lain segmentasi pasar, ideologi, kategori, serta yang tak kalah penting adalah konteks sosial politik, budaya, dan agama dimana media itu terlibat dalam proses komonikasi dengan pembacanya.
Hal tersebut menjadi keniscayaan dalam industri media karena tidak bisa tidak bahasa sebagai alat komonikasi harus menyesuaikan diri dengan kontek dimana bahasa itu dipakai. Media massa, khususnya media cetak, yang secara khusus menyajikan berita tentang kriminalitas, misalnya, cenderung memilih bahasa yang keras dan sarkastik. Sementara media massa dengan spesialisasi bidang ekonomi dan bisnis, tentu akan menggunakan bahasa yang lugas, bebas dari metafor, serta jauh dari multi-tafsir.
Begitupun media yang khusus membahas tentang kesehatan, otomotif, teknologi informasi, pertanian, kuliner, atau jenis wirausaha lainnya, akan memperlakukan medium bahasa dengan corak yang sama sekali berbeda dengan media-media yang bergerak dalam kategori seperti misalnya; kesenian, sastra atau jurnal filsafat. Tulisan ini akan membahas bagaimana konteks sosial politik, budaya dan agama memberi pengaruh yang tak kecil terhadap pergeseran karakter bahasa suatu media, khususnya Koran Kompas, yang memang menjadi obyek kajian dari tema tulisan ini.
Analisis
Koran Kompas adalah sebuah media cetak yang cukup konkren terhadap aspek-aspek pembalajaran dengan etika jurnalistik yang sangat ketat penerapannya. Dilihat dari pemberitaannya, harian ini mempunyai ciri khas kemendalaman pemberitaan yang jarang ditemukan dalam koran atau media cetak yang lain. Sebagian besar dari berita yang diturunkan Kompas mengadopsi penulisan Deep News atau pengupasan berita yang tidak sekedar reportase mentah dari sebuah peristiwa (event), akan tetapi disertai analisis yang ringkas namun mendalam serta kemungkinan-kemungkinan efek sosiologis dari terjadinya suatu peristiwa. Dari segi pembahasaan hasil reportase, koran kompas cenderung menggunakan bahasa yang kalem, sederhana, lunak, obyektif, tidak begitu tajam, sedikit retorika, miskin metafor, dan dilihat dari judul-judul beritanya, kurang membuat orang tertarik.
Dengan begitu, Kompas berbeda dengan Jawa Pos, misalnya, yang lebih memilih menggunakan bahasa bombastis dan tajam dalam tiap pemberitaannya. Juga Koran Tempo yang sangat kentara nuansa estetisnya dan kritisnya dalam menggunakan bahasa. Inilah alasan mengapa kemudian Kompas dicap sebagai Koran yang menjalankan pola Jurnalisme Pastoral, yaitu karakter dalam jurnalistik yang tidak berani subversiv terhadap kekuasaan sambil mementingkan pengajaran ketimbang mengeksplor sisi estetik atau sarkasme dari sebuah pemberitaan. Karakter ini berbeda jauh dengan apa yang dipraktekkan Tempo sebagai media yang setia dengan pakem Jurnalisme Sastrawi, yakni karakter dalam jurnalistik yang lebih mengelaborasi sisi keindahan dalam reportase pemberitannya.
Ciri khas Kompas ini sangat kentara sebelum masa reformasi tiba, dimana pers masih dikontrol ketat oleh penguasa. Berikut ini, sebagai conoth, disertakan kliping berita Kompas tahun 1992 untuk sedikit melihat karakteristik bahasa yang digunakan harian ini.
KEPERCAYAAN ASING PADA INDONESIA PULIH”
Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pemberian tingkat kepercayaan (credit rating), Standard and Poors, Senin (20/7) menyatakan, tingkat kepercayaan dunia internasional pada Indonesia kini bersifat positif dan Indonesia kini mempunyai nilai yang ditandai dengan minus BBB, sebagai hasil dari usaha merombak secara mendasar pada perekonomiannya selama dekade 1980-an. Indonesia kini memiliki usaha swasta yang berkembang pesat dan juga mengalami perkembangan di sektor nonmigas. Perusahaan itu menambahkan, sejak tahun 1986 sampai 1991, Produk Domestik Bruto Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 6,4 persen per tahun, sementara volume investasi dan ekspor juga meningkat hampir dua kali lipat, pada periode yang sama.(AFP/mon)
Dari kutipan berita di atas tampak jelas sekali bahwa Judul berita di Kompas pada tahun sebelum kekuasaan Orba tumbang, sangat miskin akan retorika. Tidak ada kreasi pemilihan redaksional judul sehingga pembaca kemudian tertarik atau minimal terdorong untuk membaca isi berita. Dalam pemberian judul, harian ini lebih memilih mencatut dari isi secara mentah dan apa adanya, tanpa sedikitpun berinisiatif menggunakan bahasa yang lebih arogan. Coba cermati beberapa judul berikut ini:
“PT. Semen Andalas Lakukan Restrukturisasi Pemilikan Saham.”
“Masalah Sumber Daya Manusia Paling Penting dalam Laporan Bank Dunia.”
“RI Harapkan Bantuan 4,8 Milyar Dollar AS.”
Judul di atas mengindikasikan bahwa harian Kompas lebih memilih akurasi isi ketimbang persoalan judul. Karakteristik seperti ini membuat Kompas di satu sisi tampak dewasa, namun di sisi lain bisa timbul kebosanan bagi pembaca ketika membaca sekilas judul berita Kompas.
Sebagai harian umum, kompas jelas menginginkan bahwa sajian-sajian beritanya bisa dinikmati oleh setiap kalangan, dengan bahasa yang dapat langsung dimengerti oleh semua kalangan pula, bahkan kalangan awam sekalipun. Dalam kriteria penulisan artikel bagi penulis lepas pun, kompas memasukkan item kebahasaan dengan rinci. Berikut akan dikutipkan kriteria penulisan artikel di harian kompas: “Artikel ditulis dengan bahasa populer, yang mudah dimengerti oleh semua kalangan, bahkan masyarakat awan sekalipun. Karena Kompas adalah harian umum, bukan jurnal yang mewakili fak atau disiplin ilmu tertentu.”
Dari fenomena di atas, dapat disimpulkan bahwa kompas merupakan koran yang cenderung konvensional dalam hal pemilihan judul dan penyajian berita, yang cenderung kolot dalam seni berbahasa. Terutama saat kontrol terhadap pers begitu ketat dari pihak penguasa di masa Orde Baru.
Konteks Politik dan Perkembangan Ilmu Sosial sebagai Pemicu
Namun demikian, bukan berarti kompas lantas menjadi jumud dan sama sekali tertutup dari angin perubahan, terutama angin yang dibawa reformasi sejak Orba tumbang. Alam demokrasi yang ditandai dengan kebebasan pers, telah ikut membentuk pola serta karekteristk media massa, tak terkecuali kompas mengalami pergeseran yang cukup signifikan.
Dalam penelitiannya, Endro Sutrisno dari IKIP PGRI Madiun dan Susi Harliani dari Institut Teknologi Surabaya, yang dipresentasikan dalam forum Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya di Jakarta, Rabu 16 Februari 2005, menunjukkan bahwa pergeseran pola komunikasi itu berjalan paralel dengan gerakan reformasi. Penggunaan bahasa dalam media massa (cetak) Indonesia selama tiga tahun terakhir menunjukkan fenomena menarik. Penggunaan metafora sebagai cermin komunikasi masyarakat berbudaya kini tereduksi oleh pemakaian ungkapan-ungkapan vulgar dalam intensitas cukup tinggi. Kenyataan ini mengindikasikan terjadinya pergeseran tata nilai dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Bahkan, pada beberapa kasus, ada kesan rasa hormat masyarakat terhadap para tokohnya telah tereduksi sedemikian rupa, sebagaimana tercermin dari munculnya ungkapan-ungkapan vulgar tersebut. Hal itu terjadi karena terbangunnya kebebasan pers seiring lahirnya gerakan reformasi. Alasan sosial-politik adalah kata kunci dari pergeseran karakteristik media cetak.
Penggunaan istilah-istilah yang tergolong vulgar di sejumlah media cetak yang dijadikan bahan analisis, dalam hal ini juga harian Kompas, dari hari ke hari cenderung meningkat. Contoh, ketika popularitas penyanyi Inul Daratista muncul ke permukaan, di harian Kompas tiba-tiba terbaca judul tulisan yang menyertakan kosakata tergolong vulgar: "Pantat Inul adalah Wajah Kita Semua". Di dalam tulisan itu tertuang kalimat, "Orang bahkan mendambakan 'pantatnya' Inul, dan membayar untuk 'dipantati' Inul" Juga ditemukan penggunaan metafora "dijual" dan "menjual", yang sudah bisa dikategorikan vulgar. Itu bisa disimak pada kalimat, "Mereka khawatir Amien Rais tidak akan laku lagi 'dijual' dalam Pemilu 2004".
Kecenderungan ini sesungguhnya berlaku umum pada media massa di Indonesia, tidak hanya Kompas, terutama sejak era reformasi. Anehnya, masyarakat pembaca pun seolah tidak lagi risi dengan istilah-istilah vulgar tersebut.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai ingin lebih cepat mengungkapkan pesan (struktur batin) tanpa lebih panjang mengalami seleksi leksikon, yang dimotori pertimbangan budaya, sebagaimana yang dilakukan jika menggunakan metafora. Sangat boleh jadi, semua itu cermin dari sikap pragmatis yang dimotivasi oleh pergeseran tata nilai di masyarakat. Jika lazimnya istilah-istilah vulgar itu digunakan dalam kondisi emosional atau marah, kini kondisi psikis tersebut tak lagi diperlukan. Dari sudut pandang semantik-pragmatik, ini dapat disebut pergeseran pola komunikasi dalam masyarakat Indonesia. Jika semula dikenal berkonteks budaya tinggi lewat bahasa metaforanya, kini mulai bergeser ke masyarakat berkonteks budaya rendah dengan kecendrungan umum penggunaan bahasa-bahasa vulgar.
Dalam pergeseran pola berbahasa ini, Kompas, di satu sisi memang banyak dipengaruhi iklim politik yang lebih demokratis setelah Orba berakhir. Akan tetapi di lain pihak, perkembangan ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu hermeneutika dan semiotik, juga turut memberi pengaruh yang besar terhadap hal tersebut. Perkembangan ilmu sosial menandakan semakin majunya suatu kebudayaan. Semakin maju suatu kebudayaan, semakin kompleklah kesadaran masyarakat. Sementara kesadaran masyarakat, jika kita cermati, tidak bisa lepas dari kesadaran akan pola berbahasa yang menjadi unsur pokok dari kesadaran kebudayaan itu, karena merupakan konvensi suatu kebudayaan. Dengan kata lain, perkembangan kebudayaan meniscayakan perkembangan keilmuan, perkembangan keilmuan mengandaikan kemajuan taraf berbahasa yang semakin komplek, yang pada saat bersamaan berkembang seiring kemajuan ilmu-ilmu sosial dalam merumuskan dinamika sosial-budaya itu sendiri.
Di sini bahasa begitu banyak menanggung dikursus akibat dari perkembangan ilmu-ilmu sosial tersebut, sehingga hubungan antara bahasa, sebagai sistem tanda, bekerja dalam tingkat kompleksitas yang tinggi. Dalam iklim perkembangan itu komunikasi dipandang sebagai produksi dan pertukaran makna (productions and exchange of meaning). Pandangan ini memperhatikan bagaimana pesan berhubungan dengan penerimanya untuk memproduksi makna.
Jika aliran proses memperlihatkan penguasaan makna pada sumber atau pengirim pesan, aliran semiotik justru membalik peran penguasaan makna kepada penerima pesan. Penerima pesan mempunyai otoritas mutlak untuk menentukan makna-makna yang ia terima dari pesan, sehingga peran sender cenderung terabaikan. Demikian juga, apa yang disebut sebagai pesan (message) pada paradigma ini seringkali disebut sebagai teks. Dalam kaitannya dengan produk media, seluruh pesan media dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Jangkauan pemaknaan akan sangat tergantung pada pengalaman budaya dari receiver, yang dalam paradigma semiotik disebut sebagai ‘pembaca’ (reader). Tradisi semiotika tidak pernah menganggap terdapatnya kegagalan pemaknaan, karena setiap ‘pembaca’ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca.
Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya. Dalam kontek Kompas, sistem ini diterapkan sedikit demi sedikit, dimana indikatornya adalah menguatnya kecendrungan bahasa vulgar, yang memang menjadi representasi dari iklim demokrasi yaitu berupa kebebeasan menyatakan pendapat, baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Kondisi masyarakat yang diandaikan semakin terbuka dan kritis oleh media massa kemudian diterapkan dalam sistem produksi jurnalisme yang juga semakin vulgar. Ibarat cermin yang memantulkan bayangan dari suatu subyek, maka media menampilkan bayangan dari masyarakt untuk kemudian mengembalikan lagi bayangan tersebut kepada masyarakat. Di sini terjadi hubungan dialektis antara masyarakat dan media, yang tidak sesederhana yang dapat dicermati. Media memproduksi berita, di satu sisi, masyarakat perlu mendapat informasi. Relasi ini kemudian menimbulkan hubungan timbal balik yang bercorak semantik, yaitu menekankan otonomi dalam teks (berita, visual, lay out,dll) ketimbang source atau sender.
Kesimpulan
Dalam tradisi berbahasa Kompas sebelum era reformasi datang, bisa dilihat bagaimana kecendrungan kompas untuk menjauh dari apa yang disebut Roland Barthes sebagai “Gincu Bahasa” atau “Kosmetik Bahasa”. Yaitu sebuah penggunaan bahasa yang bertujuan memperindah retorika, akan tetepi efeknya bisa mengaburkan fakta. Polisemi dalam kata, oleh karenaya, ditekan sampai batas minimal, demi sebuah maksimalitas pengungkapan fakta dari reportase yang dihasilkan.
Keunggulan pilihan style ini terletak pada kejernihannya dalam menyajikan berita karena resiko distorsi fakta betul-betul terjaga. Selain itu, pembaca juga tidak terganggu dengan kemungkinan multi-tafsir dari sekian berita yang dihasilkan. Namun gaya kompas juga memiliki kelemahan, terutama dari aspek estetika dan retorika. Dalam industri media yang tergolong ketat, pilihan Kompas mengundang banyak resiko, terutama ketika media-media lainnya mulai meninggalkan gaya lama dengan beralih mengikuti kecendrungan metafor-metafor yang mengeksplorasi estetika untuk mengimbangi dinamika perkembangan kebudayaan.
Untuk itulah dalam perkembangan mutakhirnya Kompas meninggalkan karakteristik lamanya dan mulai beralih kepada kecendrungan umum dalam bahasa media. Ditopang dengan kebebesan pers yang didapat seiring tumbangnya Orba, perubahan ini tampak sangat besar dalam beberapa pemberitaan, sebagaimana yang disebutkan di atas. Memang jika tetap ingin eksis sebagai media yang memiliki pengaruh besar, Kompas perlu meneyesuaikan karakteristiknya seiring dengan tuntutan zaman. Hal ini tidak dapat ditolak dalam konteks sosial-budaya dan sosial-politik yang terus bergerak secara dinamis.